Dalam bab ini, Anda akan melihat bagaimana Muhammad berperilaku dalam masyarakat secara umum. Silahkan Anda mempertimbangkan apakah tindakan-tindakan tersebut pantas untuk seorang nabi yang mengaku sebagai utusan Allah.
Kisah tentang Ali
Ali bin Abu Talib adalah sepupu dari Muhammad dan salah satu dari sepuluh sahabat nabi yang membawakan pesannya. Dia pernah satu kali menyelamatkan Muhammad, dengan cara mengambil posisi Muhammad di tempat tidurnya (di mana dia sendiripun hampir mati), ketika Muhammad kabur dari kota tersebut.1 Ali, seorang pemuda yang terpelajar, mendapatkan pengetahuan dari pamannya, Abu Al-Hakam, yang juga seorang terpelajar dengan perpustakaan terbesar di Arabia. Namun, Muhammad dan kaum Muslim menuduh Abu Al-Hakam sebagai orang bodoh, dan memberikan Abu Al-Hakam sebuah julukan mencemooh, Abu-Jahl, “bapak dari kebodohan.”2
Ali adalah suami Fatimah, anak perempuan dari Muhammad. Hal paling buruk yang ditakuti oleh Fatimah adalah bahwa Ali akan meniru Muhammad dan sahabat lainnya yang masing-masing memiliki banyak istri, setidaknya empat seperti yang diizinkan oleh Al-Qur’an, Muhammad, “Jibril” dan Allah. Benarlah, ketika Ali mengumumkan pertunangannya dengan anak perempuan ‘Amr bin Hisham3, maka Fatimah, istrinya, marah besar dan dia membawa amarahnya kepada Muhammad, ayahnya. Keputusan Ali untuk menikah lagi membuat nabi berada dalam situasi yang sangat meresahkan dan memalukan. Apakah sang nabi besar itu akan bersikap kenabian dan mendukung ajaran-ajaran Islam yang mengizinkan pria memiliki banyak istri, atau tunduk pada amarah anak perempuannya?
Keputusan nabi ternyata melupakan ajaran Tuhannya dan tunduk pada keinginan anak perempuannya, dan melarang Ali untuk memiliki istri selain Fatimah. Saat nabi pergi ke Masjid pada masa itu dan dari panggung, dia berteriak: “Aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan dia untuk menceraikan anak perempuanku karena anak perempuanku adalah bagian dari diriku. Apa yang menyakitinya, menyakitiku.”4
Mengapa Fatimah, anaknya bisa dikecualikan? Apakah anak perempuannya memiliki perasaan yang tidak dimiliki oleh para istri lain? Aisyah, Hafsah, Umm Salamah, Maria, Zainab dan lain lain harus menerima nasib dimadu, tetapi kenapa Fatimah tidak diizinkan dimadu? Muhammad membela diri dan berkata: “Fatimah adalah bagian dari diriku dan apa yang menyakitinya, menyakitiku.” Mengherankan! Tidakkah Aisyah adalah bagian dari ayahnya, Abu Bakar, sahabat Nabi dan penerusnya yang pertama? Tidakkah Hafsah, anak perempuan dari Umar adalah bagian dari Umar, sahabat Nabi dan penerusnya yang kedua? Sangat mengherankan bila menyaksikan bagaimana umat Muslim mencoba membenarkan keputusan diskriminasi sang nabi dengan mengatakan: “Tunangan dari Ali adalah seorang Muslim, tetapi karena ayahnya adalah seorang kafir, maka Ali tidak diizinkan untuk menikahinya.” Tetapi tidakkah Umm Salamah adalah seorang Muslim saat Muhammad menikahinya dan ayahnya adalah seorang kafir? Bagaimana dengan Maria orang Mesir yang Kristen Coptic? Mengapa Allah izinkan wanita-wanita ini dinikahi Muhammad?
Saya berani bertaruh, jika Ali tetap bertekad atas keputusannya untuk menikah lagi, pasti akan turun sebuah ayat ”jibril” pada keesokan harinya untuk membatalkan niat Ali! Ulama Muslim yang mencoba melindungi Muhammad dari diskriminasi ini hanyalah mampu melakukan argumentasi yang bodoh.
Berhubungan Intim dengan Wanita yang sudah Menikah
Di sini terdapat kisah lain yang bisa mengakibatkan seseorang untuk merasa muak. Sang Nabi mengatakan: “Wanita-wanita yang sudah menikah diantara kaum tahanan adalah sah untuk kamu nikahi, Wahai kaum Muslim.” Setelah serangan Awtas, banyak wanita yang menjadi tahanan (budak tawanan), ketika suami mereka masih hidup. Sejumlah pejuang Muslim yang masih ada moral menolak untuk melakukan hubungan intim dengan wanita-wanita tersebut terlepas dari fakta bahwa nabi telah memerintahkan mereka. Namun untuk meyakinkan pengikutnya, Muhammad sudah siap dengan sebuah ayat dari tuhannya, dan “jibril” sudah siap-sedia untuk menurunkannya:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”5
Sangat menakjubkan! Banyak ulama mendukung kisah sang nabi, yang menjadikan sah bagi seorang Muslim untuk melakukan hubungan intim dengan wanita-wanita tawanan yang sudah menikah.6
Ibn Kathir menyebutkan cerita lengkapnya:“Abu Sa’id Al-Khudri mengata-kan, kami menangkap beberapa wanita tahanan Awtas dan mereka memiliki suami. Sehingga kami berpikir adalah sebuah kezaliman untuk melakukan hubungan intim dengan mereka. Namun, sang Nabi memerintahkan kita untuk melakukannya, tetapi kami menolak. Akibatnya, sebuah ayat turun yang membuat vagina mereka halal bagi kami.”57
Namun mereka harus menerima kenyataan bahwa Tuhan demikian hanyalah tuhan yang paling bejad amoral, karena hubungan tersebut sama saja dengan pemerkosaan! Allah manakah yang menghalalkan perkosaan atas wanita tawanan yang bersuami?
*[Dan surga manakah yang tidak akan ribut tatkala suaminya memprotes si pemerkosa Muslim itu kelak diakhirat?]
Itu sebabnya walaupun sekarang kita hidup dalam masa pesawat luar angkasa, jauh lebih maju dari masa Badui-nya Muhammad, pemerkosaan budak masih diterima di negara-negara Islam.7
Hal lain yang tak kalah kejinya adalah, pernyataan yang dibuat oleh Muhammad dalam Al-Hadits yang merupakan esensi dari gerakan terorisme, dalam pemahaman yang paling dalam: “Dia yang membunuh seseorang, mempunyai hak atas segala hartanya.”8 Muhammad membuat pernyataan ini untuk menyemangati kaum Muslim. Tetapi perilaku seperti ini telah menjadi hukum yang ditegakkan dalam negara-negara Islam hingga hari ini. Tidak heran bila para teroris melakukan pembunuhan dan perampokan atas nama Allah dan Islam, dan menari-nari diatasnya!
Hak untuk Membunuh
Kesewenangan Muhammad tidak hanya terbatas pada diskriminasi yang mengecualikan anak perempuannya, Fatimah. Muhammad juga menghalalkan seorang saudara membunuh saudaranya sendiri atau seorang bapak membunuh anaknya, atau seorang anak membunuh bapaknya, selama perang dalam menyebarkan Islam. Disitu seorang anak dapat membunuh ayahnya jika ayahnya tidak memeluk Islam. Menjadi halal untuk membunuh seorang saudara atau teman yang tidak beriman pada Islam, sehingga dianggap musuh Allah! Namun ajaib, kembali hukum ini tidak berlaku untuk saudara-saudara dari Muhammad! Diskriminasi tidak logis dan yang sesuka hati ini dicatat dalam lebih dari satu referensi Islam, termasuk The Life of the Prophet oleh Ibn Hisham, yang menulis:
“Ibn Ishaq bercerita bahwa Ibn Abbas mengatakan, bahwa Nabi berkata kepada sahabat-sahabatnya selama Perang Badar.9 Siapapun diantara kalian yang menemukan anak-anak dari Hashim, kamu tidak diperkenankan untuk membunuhnya; dan siapapun yang menemukan pamanku, Al-Abbas, kamu tidak diperkenankan membunuhnya. Hudhayfah10 mengatakan kepadanya: Apakah kita yang membunuh anak-anak kami sendiri, bapak-bapak kami, paman-paman kami dan saudara-saudara kami sendiri, tetapi membiarkan Al-Abbas karena dia adalah pamanmu? Umar hampir membunuhnya karena dia (Hudhayfah) berani menantang Rasul Allah.”11
Setelah Hudhayfah menantang Muhammad mengenai masalah ini, Muhammad berkomentar kepada Umar Ibn al-Khattab: “Apakah paman dari Rasul Allah harus dibunuh dengan pedang?” Logika aneh apakah itu? Tidakkah pamannya juga seorang kafir sama seperti kafir lainnya? Tidakkah keluarganya adalah kafir sama seperti kafir lainnya di Quraishi, sukunya sendiri, yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa ampun oleh anak-anak mereka sendiri, ayah mereka, saudara dan teman-teman mereka?
Lebih buruk dari Standar Ganda
Kisah diskriminasi dan standar ganda Muhammad bukan hanya terbatas pada diri dan keluarganya, melainkan diteruskan hingga ke kesukuan bangsanya, tercermin dalam pernyataannya: “Penerusku hanya boleh diberikan di antara kaum Quraishi.”12 Sekutu-sekutu Muhammad, yang datang dari luar suku Quraishi, merupakan pendukung terbaiknya saat panggilan kenabiannya. Sa’d Ibn Ubadah dari kaum Ansar, adalah orang pertama dalam daftar penerus Muhammad karena dia menemuinya di Medinah dan mengajak kaumnya Muhammad untuk menerima dan mendukungnya. Jika bukan karena Sa’d, panggilan kenabian Muhammad akan gagal total. Terlepas dari itu, Muhammad memerintahkan bahwa penerus dirinya harus tetap berada di dalam suku Quraishi. Walaupun kaum Quraishi menghakiminya dan menyatakan perang terhadapnya, dia tetap memberikan keuntungan kesukuan kepada mereka untuk menjadi penerusnya, dan bukan kepada sekutu terbaiknya dari Ansar.
Perkelahian sengit terjadi pada saat Muhammad meninggal, karena kandidat pertama untuk menggantikan Muhammad adalah Sa’d Ibn Ubadah dari Ansar. Al-Suyuti berkata: “Muhammad mengatakan, kepemimpinan dan kekhalifahan setelahku harus berada di tangan suku Quraishi.”13 Al-Bukhari menambahi rinciannya: “Rasul Allah mengatakan, pemerintahan dan kekhalifahan harus berada di tangan suku Quraishi, bahkan jika hanya dua orang yang tersisa diantara mereka.”14 Hal itu dikatakan oleh Muhammad dan didukung oleh kaum ulama Muslim. Tetapi, bagaimana saat Muhammad mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang asing, kecuali dalam hal keimanan?” Keputusannya untuk memberikan Kalifah kepada suku Quraishi adalah kemunafikan!15 Ali bin Abu Talib dikutip oleh Ibn Kathir: “Rasul Allah mendahulukan suku Quraishi dibanding dengan seluruh dunia.”16
Lebih jauh lagi, Muhammad tidak hanya memberi hak eksklusif kepada Quraishi sebagai penerus Kalifah, namun juga mempraktekkan diskriminasi pada saat pembagian penjarahan perang. Ia memporsikan rampasan kepada Quraishi pagan lebih banyak ketimbang kepada Muslim non-Quraishi!
Sheikh Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan:
“Nabi, setelah Perang Hunein,17 memberikan banyak dari hasil jarahan kepada orang yang imannya dalam Islam lemah, agar membawa mereka lebih dekat; dan dia memberikannya juga kepada mereka yang tidak memeluk Islam, seperti Safwan bin Ubia,18 untuk merayu mereka masuk Islam. Ketika Muhammad berperilaku seperti ini, memberikan kaum non-Muslim lebih banyak daripada sekutu-sekutu Muslim yang berperang bersamanya, mereka menjadi marah. Satu berkata: ‘Inikah keadilan, Muhammad? Saya tidak bisa melihat wajah Allah dalam pembagian ini.’ Muhammad menjadi marah dan mukanya merah karena amarah. Dia menjawab: ‘Malanglah nasibmu! Siapa yang bisa adil jika aku tidak adil?’ Orang itu menjawab: ‘Dimanakah keadilan dalam hal yang engkau lakukan?...”19
Sikap ketidak-adilan Muhammad kerap terulang dan Anda dapat membacanya dalam banyak referensi tentang keislaman.20 Akibat dari penelitian mendalam mengenai hal ini, Dr. Taha Hussein,21 seorang penulis kesohor dari Mesir, dengan bukunya yang terkenal, The Grand Revolt; meninggalkan Islam dan memeluk Kristen. Dia dibaptis di sebuah gereja di Perancis.
[Hal ini dikonfirmasikan dalam Taba Hussein in the Intellectual Balance, Dr. Anwar Gundi, p. 65, dan didukung artikel dalam majalah Renaissance oleh Muhammad Mahmood, seorang pengacara dan penulis Mesir yang ternama.]
Kisah tentang Ali
Ali bin Abu Talib adalah sepupu dari Muhammad dan salah satu dari sepuluh sahabat nabi yang membawakan pesannya. Dia pernah satu kali menyelamatkan Muhammad, dengan cara mengambil posisi Muhammad di tempat tidurnya (di mana dia sendiripun hampir mati), ketika Muhammad kabur dari kota tersebut.1 Ali, seorang pemuda yang terpelajar, mendapatkan pengetahuan dari pamannya, Abu Al-Hakam, yang juga seorang terpelajar dengan perpustakaan terbesar di Arabia. Namun, Muhammad dan kaum Muslim menuduh Abu Al-Hakam sebagai orang bodoh, dan memberikan Abu Al-Hakam sebuah julukan mencemooh, Abu-Jahl, “bapak dari kebodohan.”2
Ali adalah suami Fatimah, anak perempuan dari Muhammad. Hal paling buruk yang ditakuti oleh Fatimah adalah bahwa Ali akan meniru Muhammad dan sahabat lainnya yang masing-masing memiliki banyak istri, setidaknya empat seperti yang diizinkan oleh Al-Qur’an, Muhammad, “Jibril” dan Allah. Benarlah, ketika Ali mengumumkan pertunangannya dengan anak perempuan ‘Amr bin Hisham3, maka Fatimah, istrinya, marah besar dan dia membawa amarahnya kepada Muhammad, ayahnya. Keputusan Ali untuk menikah lagi membuat nabi berada dalam situasi yang sangat meresahkan dan memalukan. Apakah sang nabi besar itu akan bersikap kenabian dan mendukung ajaran-ajaran Islam yang mengizinkan pria memiliki banyak istri, atau tunduk pada amarah anak perempuannya?
Keputusan nabi ternyata melupakan ajaran Tuhannya dan tunduk pada keinginan anak perempuannya, dan melarang Ali untuk memiliki istri selain Fatimah. Saat nabi pergi ke Masjid pada masa itu dan dari panggung, dia berteriak: “Aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan, aku tidak mengizinkan dia untuk menceraikan anak perempuanku karena anak perempuanku adalah bagian dari diriku. Apa yang menyakitinya, menyakitiku.”4
Mengapa Fatimah, anaknya bisa dikecualikan? Apakah anak perempuannya memiliki perasaan yang tidak dimiliki oleh para istri lain? Aisyah, Hafsah, Umm Salamah, Maria, Zainab dan lain lain harus menerima nasib dimadu, tetapi kenapa Fatimah tidak diizinkan dimadu? Muhammad membela diri dan berkata: “Fatimah adalah bagian dari diriku dan apa yang menyakitinya, menyakitiku.” Mengherankan! Tidakkah Aisyah adalah bagian dari ayahnya, Abu Bakar, sahabat Nabi dan penerusnya yang pertama? Tidakkah Hafsah, anak perempuan dari Umar adalah bagian dari Umar, sahabat Nabi dan penerusnya yang kedua? Sangat mengherankan bila menyaksikan bagaimana umat Muslim mencoba membenarkan keputusan diskriminasi sang nabi dengan mengatakan: “Tunangan dari Ali adalah seorang Muslim, tetapi karena ayahnya adalah seorang kafir, maka Ali tidak diizinkan untuk menikahinya.” Tetapi tidakkah Umm Salamah adalah seorang Muslim saat Muhammad menikahinya dan ayahnya adalah seorang kafir? Bagaimana dengan Maria orang Mesir yang Kristen Coptic? Mengapa Allah izinkan wanita-wanita ini dinikahi Muhammad?
Saya berani bertaruh, jika Ali tetap bertekad atas keputusannya untuk menikah lagi, pasti akan turun sebuah ayat ”jibril” pada keesokan harinya untuk membatalkan niat Ali! Ulama Muslim yang mencoba melindungi Muhammad dari diskriminasi ini hanyalah mampu melakukan argumentasi yang bodoh.
Berhubungan Intim dengan Wanita yang sudah Menikah
Di sini terdapat kisah lain yang bisa mengakibatkan seseorang untuk merasa muak. Sang Nabi mengatakan: “Wanita-wanita yang sudah menikah diantara kaum tahanan adalah sah untuk kamu nikahi, Wahai kaum Muslim.” Setelah serangan Awtas, banyak wanita yang menjadi tahanan (budak tawanan), ketika suami mereka masih hidup. Sejumlah pejuang Muslim yang masih ada moral menolak untuk melakukan hubungan intim dengan wanita-wanita tersebut terlepas dari fakta bahwa nabi telah memerintahkan mereka. Namun untuk meyakinkan pengikutnya, Muhammad sudah siap dengan sebuah ayat dari tuhannya, dan “jibril” sudah siap-sedia untuk menurunkannya:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”5
Sangat menakjubkan! Banyak ulama mendukung kisah sang nabi, yang menjadikan sah bagi seorang Muslim untuk melakukan hubungan intim dengan wanita-wanita tawanan yang sudah menikah.6
Ibn Kathir menyebutkan cerita lengkapnya:“Abu Sa’id Al-Khudri mengata-kan, kami menangkap beberapa wanita tahanan Awtas dan mereka memiliki suami. Sehingga kami berpikir adalah sebuah kezaliman untuk melakukan hubungan intim dengan mereka. Namun, sang Nabi memerintahkan kita untuk melakukannya, tetapi kami menolak. Akibatnya, sebuah ayat turun yang membuat vagina mereka halal bagi kami.”57
Namun mereka harus menerima kenyataan bahwa Tuhan demikian hanyalah tuhan yang paling bejad amoral, karena hubungan tersebut sama saja dengan pemerkosaan! Allah manakah yang menghalalkan perkosaan atas wanita tawanan yang bersuami?
*[Dan surga manakah yang tidak akan ribut tatkala suaminya memprotes si pemerkosa Muslim itu kelak diakhirat?]
Itu sebabnya walaupun sekarang kita hidup dalam masa pesawat luar angkasa, jauh lebih maju dari masa Badui-nya Muhammad, pemerkosaan budak masih diterima di negara-negara Islam.7
Hal lain yang tak kalah kejinya adalah, pernyataan yang dibuat oleh Muhammad dalam Al-Hadits yang merupakan esensi dari gerakan terorisme, dalam pemahaman yang paling dalam: “Dia yang membunuh seseorang, mempunyai hak atas segala hartanya.”8 Muhammad membuat pernyataan ini untuk menyemangati kaum Muslim. Tetapi perilaku seperti ini telah menjadi hukum yang ditegakkan dalam negara-negara Islam hingga hari ini. Tidak heran bila para teroris melakukan pembunuhan dan perampokan atas nama Allah dan Islam, dan menari-nari diatasnya!
Hak untuk Membunuh
Kesewenangan Muhammad tidak hanya terbatas pada diskriminasi yang mengecualikan anak perempuannya, Fatimah. Muhammad juga menghalalkan seorang saudara membunuh saudaranya sendiri atau seorang bapak membunuh anaknya, atau seorang anak membunuh bapaknya, selama perang dalam menyebarkan Islam. Disitu seorang anak dapat membunuh ayahnya jika ayahnya tidak memeluk Islam. Menjadi halal untuk membunuh seorang saudara atau teman yang tidak beriman pada Islam, sehingga dianggap musuh Allah! Namun ajaib, kembali hukum ini tidak berlaku untuk saudara-saudara dari Muhammad! Diskriminasi tidak logis dan yang sesuka hati ini dicatat dalam lebih dari satu referensi Islam, termasuk The Life of the Prophet oleh Ibn Hisham, yang menulis:
“Ibn Ishaq bercerita bahwa Ibn Abbas mengatakan, bahwa Nabi berkata kepada sahabat-sahabatnya selama Perang Badar.9 Siapapun diantara kalian yang menemukan anak-anak dari Hashim, kamu tidak diperkenankan untuk membunuhnya; dan siapapun yang menemukan pamanku, Al-Abbas, kamu tidak diperkenankan membunuhnya. Hudhayfah10 mengatakan kepadanya: Apakah kita yang membunuh anak-anak kami sendiri, bapak-bapak kami, paman-paman kami dan saudara-saudara kami sendiri, tetapi membiarkan Al-Abbas karena dia adalah pamanmu? Umar hampir membunuhnya karena dia (Hudhayfah) berani menantang Rasul Allah.”11
Setelah Hudhayfah menantang Muhammad mengenai masalah ini, Muhammad berkomentar kepada Umar Ibn al-Khattab: “Apakah paman dari Rasul Allah harus dibunuh dengan pedang?” Logika aneh apakah itu? Tidakkah pamannya juga seorang kafir sama seperti kafir lainnya? Tidakkah keluarganya adalah kafir sama seperti kafir lainnya di Quraishi, sukunya sendiri, yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa ampun oleh anak-anak mereka sendiri, ayah mereka, saudara dan teman-teman mereka?
Lebih buruk dari Standar Ganda
Kisah diskriminasi dan standar ganda Muhammad bukan hanya terbatas pada diri dan keluarganya, melainkan diteruskan hingga ke kesukuan bangsanya, tercermin dalam pernyataannya: “Penerusku hanya boleh diberikan di antara kaum Quraishi.”12 Sekutu-sekutu Muhammad, yang datang dari luar suku Quraishi, merupakan pendukung terbaiknya saat panggilan kenabiannya. Sa’d Ibn Ubadah dari kaum Ansar, adalah orang pertama dalam daftar penerus Muhammad karena dia menemuinya di Medinah dan mengajak kaumnya Muhammad untuk menerima dan mendukungnya. Jika bukan karena Sa’d, panggilan kenabian Muhammad akan gagal total. Terlepas dari itu, Muhammad memerintahkan bahwa penerus dirinya harus tetap berada di dalam suku Quraishi. Walaupun kaum Quraishi menghakiminya dan menyatakan perang terhadapnya, dia tetap memberikan keuntungan kesukuan kepada mereka untuk menjadi penerusnya, dan bukan kepada sekutu terbaiknya dari Ansar.
Perkelahian sengit terjadi pada saat Muhammad meninggal, karena kandidat pertama untuk menggantikan Muhammad adalah Sa’d Ibn Ubadah dari Ansar. Al-Suyuti berkata: “Muhammad mengatakan, kepemimpinan dan kekhalifahan setelahku harus berada di tangan suku Quraishi.”13 Al-Bukhari menambahi rinciannya: “Rasul Allah mengatakan, pemerintahan dan kekhalifahan harus berada di tangan suku Quraishi, bahkan jika hanya dua orang yang tersisa diantara mereka.”14 Hal itu dikatakan oleh Muhammad dan didukung oleh kaum ulama Muslim. Tetapi, bagaimana saat Muhammad mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang asing, kecuali dalam hal keimanan?” Keputusannya untuk memberikan Kalifah kepada suku Quraishi adalah kemunafikan!15 Ali bin Abu Talib dikutip oleh Ibn Kathir: “Rasul Allah mendahulukan suku Quraishi dibanding dengan seluruh dunia.”16
Lebih jauh lagi, Muhammad tidak hanya memberi hak eksklusif kepada Quraishi sebagai penerus Kalifah, namun juga mempraktekkan diskriminasi pada saat pembagian penjarahan perang. Ia memporsikan rampasan kepada Quraishi pagan lebih banyak ketimbang kepada Muslim non-Quraishi!
Sheikh Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan:
“Nabi, setelah Perang Hunein,17 memberikan banyak dari hasil jarahan kepada orang yang imannya dalam Islam lemah, agar membawa mereka lebih dekat; dan dia memberikannya juga kepada mereka yang tidak memeluk Islam, seperti Safwan bin Ubia,18 untuk merayu mereka masuk Islam. Ketika Muhammad berperilaku seperti ini, memberikan kaum non-Muslim lebih banyak daripada sekutu-sekutu Muslim yang berperang bersamanya, mereka menjadi marah. Satu berkata: ‘Inikah keadilan, Muhammad? Saya tidak bisa melihat wajah Allah dalam pembagian ini.’ Muhammad menjadi marah dan mukanya merah karena amarah. Dia menjawab: ‘Malanglah nasibmu! Siapa yang bisa adil jika aku tidak adil?’ Orang itu menjawab: ‘Dimanakah keadilan dalam hal yang engkau lakukan?...”19
Sikap ketidak-adilan Muhammad kerap terulang dan Anda dapat membacanya dalam banyak referensi tentang keislaman.20 Akibat dari penelitian mendalam mengenai hal ini, Dr. Taha Hussein,21 seorang penulis kesohor dari Mesir, dengan bukunya yang terkenal, The Grand Revolt; meninggalkan Islam dan memeluk Kristen. Dia dibaptis di sebuah gereja di Perancis.
[Hal ini dikonfirmasikan dalam Taba Hussein in the Intellectual Balance, Dr. Anwar Gundi, p. 65, dan didukung artikel dalam majalah Renaissance oleh Muhammad Mahmood, seorang pengacara dan penulis Mesir yang ternama.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar